23 August 2011

Mahasiswa KKN UGM Ubah Limbah Salak Jadi Bioetanol


Karena melihat banyak petani salak yang membuang limbah salak di Dukuh Dusun Kelor, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Gadjah Mada (KKN UGM) tergerak untuk memanfaatkan limbah tersebut menjadi bahan bakar pengganti minyak tanah, Bioetanol.
“Rata-rata limbah salak busuk yang tidak layak jual sebanyak 5 persen. Sayang, jika daging salak ini tidak dimanfaatkan. Rencananya, ke depan kita akan manfaatkan juga pelepah pohon salak dan biji salak untuk diolah jadi bioetanol,” kata Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN PPM, Prof. Dr. Karna Wijaya, M.Eng., saat mendampingi pemasangan alat instalasi bioetanol untuk home industry dan pelatihan pembuatan bioetanol dari limbah salak di Dusun Kelor, Bangunkerto, Turi, Sleman (21/8).
Dosen Jurusan Kimia FMIPA ini menuturkan alat destilator yang diserahkan ke petani salak merupakan hasil buatan Pusat Studi Energi (PSE) UGM. Alat seharga 1,5 juta rupiah tersebut diserahkan kepada kelompok petani salak untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.
“Kita ingin membangun desa energi mandiri, minimal 60 persen kebutuhan energi bisa dipenuhi sendiri di sini,” katanya.
Bioetanol dibuat menggunakan alat deselitator yang berkapasitas 25 liter, yang terdiri dari dua tabung. “Adapun sebelumnya limbah salak difermentasikan terlebih dahulu selama satu pekan dengan menambah rugi dan urea. Cairan fermentasi kemudian dipanaskan dengan suhu 70 derajat pada tabung destilasi,” Karna menjelaskan.
Salah seorang mahasiswa KKN, Muhammad Shidip menuturkan bahwa pemanfaatan limbah salak untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif melalui pemasangan alat instalasi bioetanol merupakan tema program KKN yang dilaksanakan di Kecamatan Turi, Sleman.
“Dengan dibantu 30 mahasiswa peserta KKN lainnya, diadakan pula sosialisasi dan penelitian kepada petani salak. Kita sudah mengadakan empat kali pelatihan,” kata Shidiq.
Adapun cara membuat bioetanol ini, papar Shidiq, adalah dengan mengupas daging salak, kemudian diparut hingga halus. “Setelah itu dimasukkan ke ember atau drum dicampur dengan ragi dan urea untuk mempercepat proses fermentasi yakni tiga hingga empat hari. Kemudian cairan hasil fermentasi disaring dan dimasukan ke tabung destilisator,” jelasnya.
Alat instalasi ini disambut baik oleh Kepala Dukuh Dusun Kelor, Darmojo. Dia berharap agar alat instalator segera dimafaatkan oleh warga yang mayoritas adalah petani salak.
“Bukan hanya pengganti minyak tanah saja, tetapi juga bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Untuk diketahu, hasil panen salak di Dusun Kelor mencapai 8-9 ton, dan lima persennya tidak layak jual,” ujar Darmojo.
Dia menjelaskan bahwa setiap seribu meter persegi kebun salak, terdiri dari 300-an rumpun, dan tiap satu rumpun mampu menghasilkan panen dua hingga tiga kilo salak.

sumber: ugm.ac.id, okezone.com

No comments:

Post a Comment

Followers